Rabu, 29 Jun 2011

ASAL USUL SUKU ANAK DALAM ..D' JAMBI.

Cerita asal-usul Suku Anak Dalam terjalin dalam beberapa versi. Salah satu cabangnya, kelompok Batin Sembilan, sudah menetap dan terbuka terhadap dunia luar Populasinya tak banyak bertambah.

Sehari-hari tanpa pakaian, kecuali kain penutup kemaluan. Tempat tinggalnya hanyalah dibatasi dinding kayu dan atap rumbia. Buah-buahan hutan, kijang, ayam hutan, atau rusa jadi santapan sehari-hari. Untuk minum, mereka mengandalkan air sungai yang diambil dengan cara sederhana, menggunakan bonggol kayu.

Itulah gambaran umum tentang masyarakat Suku Anak Dalam yang juga dikenal dengan sebutan Orang Rimba. Uniknya, walau sudah banyak pakar yang mengkaji, soal asal-usul kelompok etnis yang masih terbelakang ini masih belum jelas benar. Belum ada ahli antropologi yang bisa memastikan riwayat suku yang tersebar di beberapa kawasan di Jambi ini.

Dan riwayat mereka pun berkembang dalam beberapa versi. Salah satu pakar yang lama meneliti suku ini adalah Prof. Dr. Muntholib Soetomo. Dia pula yang pertama kali memperkenalkan sebutan Orang Rimba pada kelompok masyarakat yang masih tinggal di pedalaman Sumatera ini. Muntholib mengungkapkan, sebetulmnya ada tiga kelompok Suku Anak Dalam. Pertama, mereka yang mendiami kawasan di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh diseburnya sebagai Suku Talang Mamak. Kedua, mereka yang tinggal di sekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas dijuluki Orang Rimba, Ketiga, mereka yang ada di Sumatera Selatan adalah Orang Batin Sembilan.

Muntholib Soetomo

Dahulu kala, menurut Muntholib, wilayah Kerajaan Jambi cukup luas sampai meliputi kawasan Sei Lilin di Sumatra Selatan dan Pagaruyung di Sumatera Barat. Berdasarkan penelitiannya selama lima tahun, sejak 1990 hingga 1995, ia menyimpulkan bahwa ketiga kelompok suku itu hidup sejak tahun 1200. Kemudian, sekitar tahun 1500-an, timbul masalah antara Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Jambi. Untuk menyelesaikan masalah itu, Kerajaan Pagaruyung mengirim beberapa orang utusan ke Kerajaan Jambi.

Para utusan itu menempuh perjalanan yang jauh dengan berjalan kaki. Malang tak dapat ditolak, sebelum sampai ke tujuan mereka kehabisan bekal di tengah jalan. Akhirnya, para utusan ini meng-”kubu”-kan diri alias bertahan di lokasi itu yang kini dikenal sebagai kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, sampai beranak cucu. Mereka inilah cikal-bakal Orang Rimba yang disebutkan tadi.

Versi lain diungkapkan oleh Munawir Muchlas pada 1975. la menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri seperti Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita Perang Bagindo Ali, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar clan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu.           ,

Dari beragam hikayat tersebut, Muchlas menarik kesimpulan bahwa Suku Anak Dalam berasal dari tiga turunan. Pertama, turunan dari Sumatera Selatan yang umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari. Kedua, Keturunan dari Minangkabau, umumnya berada di Kabupaten Bungo Tebo clan sebagian Mersam di Batanghari. Ketiga, Keturunan dari Jambi asli, yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.

Versi lain disusun oleh tim dari Departemen Sosial yang dimuat dalam terbitan berkala Profil Masyarakat Terasing. Terkisah, pada zaman dahulu kala, pecah perang antara Kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Putri Selaras Pinang Masak dan Kerajaan Tanjung Jabung yangdipimpin Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, hingga beritanya sampai ke telinga Raja Pagaruyung, yang bukan lain adalah ayah Putri Selaras Pinang Masak.

Untuk menyelesaikan peperangan tersebut, Raja Pagaruyung mengirimkan prajurit-prajurit yang gagah berani untuk membantu Kerajaan Jambi. Raja Pagaruyung memerintah mereka untuk membantu menaklukkan Rangkayo Hitam. Para prajurit itu menyanggupinya clan bersumpah tidak akan kembali sebelum meraih kemenangan.

Jarak antara Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Jambi sangat jauh, barns melalui hutan belantara dengan berjalan kaki. Setelah berjalan berhari-hari, kondisi para prajurit ini mulai menurun, sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis. Mereka pun kebingungan. Perjalanan yang harus ditempuh masih jauh. Kembali ke Kerajaan Pagaruyung, mereka malu.

Memasang pelabuh, jerat untuk tikus hutan

Mereka pun bermusyawarah. Walhasil, mereka memutuskan bertahan hidup di dalam hutan. Untuk menghindari kemungkinan bertemu dengan warga Pagaruvung dan merasa malu, mereka mencari tempat sepi clan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama kian terpencil. Keturunan mereka inilah konon yang menamakan dirinya Suku Anak Dalam.

Ada lagi yang mengait­-ngaitkannya dengan riwayat Kesultanan Palembang clan Kerajaan Jambi, yang sejatinya masih serumpun. Menurut versi ini, asal-usul Suku Anak Dalam dapat dirunut sejak tahun 1624, saat dimulainya ketegangan hubungan antara kedua kerajaan tersebut. Ketegangan pun berpuncak dengan pecahnya perang pada 1629. Itu sebabnya, menurut versi ini, sekarang ada dua kelompok Suku Anak Dalam dengan bahasa, bentuk fisik, adat istiadat, dan tempat tinggal yang berbeda.

Ada kelompok Suku Anak Dalam yang bermukim di hutan belantara kawasan Musi Rawas, Sumatera Selatan. Kelompok ini berkulit kuning dengan postur tubuh mirip ras Mongoloid, seperti orang Palembang. Kelompok inilah yang diduga merupakan keturunan Kesultanan Palembang. Sedangkan kelompok lainnya mendiami kawasan hutan di Jambi. Kulit mereka ini berwarna sawo matang, berambut ikal, dan mata agak menjorok ke dalam. Mereka mirip ras India (Wedoid) dan konon keturunan tentara bayaran Kerajaan Jambi.

Ada lagi versi cerita lain yang mengungkap asal-usul kelompok Batin Sembilan yang masih merupakan bagian dari Suku Anak Dalam juga. Syahdan, pada zaman Kerajaan Melayu Jambi dahulu. Raja Jambi Maruhun melakukan perjalanan menelusuri Sungai Batanghari, kemudian naik ke Sungai Batang Tembesi. Di suatu tempat, Sang Raja bertemu dengan perempuan yang cantik jelita. Raja pun sangat tertarik dengan kecantikan perempuan, yang diketahui bernama Bayan Lais itu.

Suku Batin Sembilan

Singkat cerita, raja pun mengawini Bayan Lais. Dari pernikahan ini lahirlah Raden Ontar. Setelah menikah, Raden Ontar mempunyai anak bernama Raden Nagasari. Raden Nagasari sendiri kemudian memiliki sembilan anak, delapan laki-laki dan seorang perempuan. Anak-anak Raden Nagasari ini kemudian menyebar ke sembilan anak sungai yang berada di sekitar Sungai Batanghari, Batang Tembesi, dan Sungai Lalan.

Semua anaknya yang laki-kaki memilih tempat di wilayah timur Batanghari dan Batang Tembesi, yaitu Sungai Burung Hantu, Telisa, Sekamis, Pemusiran, Jangga, Jebak, Bulian, dan Bahar. Sedangkan anak perempuannya memilih berada di wilayah barat Batanghari, yaitu Sungai Singoan. Persebaran kesembilan keturunan Raden Nagasari inilah yang kemudian berkembang menjadi suku Batin Sembilan atau Orang Dalam.

Batin Sembilan merupakan komunitas yang hidup dari petualangan dan mengambil hasil hutan. Mereka sudah lama hidup menetap clan berinteraksi dengan orang luar. Terutama pada masa penjajahan Belanda ­dengan adanya eksplorasi minyak bumi, daerah-daerah pemukiman Batin Sembilan telah terhubung dengan dibukanya sejumlah ruas jalan. ­Pembukaan jalan-jalan ini pula yang menyebabkan banyak migran menetap di daerah komunitas Batin Sembilan. Keadaan ini sekaligus meningkatkan interaksi mereka dengan orang luar.

Kini, dengan adanya pembentukan desa, masyarakat Batin Sembilan tersebar di 18 desa. Sebagian bermukim di Desa Naga Sari, Pelempang, Nyogan. Tanjung Pauh 39, dan Merkanding. Sebagian lainnya menetap di Desa Tanjung Lebar, Ladang Peris, Kilangan, Sengkawang, Pompa Air, Bungku, Jebak dan Jangga Aur. Ada juga komunitas mereka yang menyebar di Desa Muara Singoan, Pemusiran, Lubuk Napal, Lamban Segatal, dan Sepintun.

Komunitas Batin Sembilan memang tampak berbeda dibandingkan dengan suku-suku Anak Dalam lainnya. Terutama sejak Departemen Sosial menggulirkan Program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing pada 1970-an. Program ini cukup berhasil untuk komunitas Batin Sembilan karena mereka mau diajak hidup menetap. Tapi tidak demikian halnya dengan Orang Rimba yang tetap bertahan dengan pola hidup nomaden.

Menurut basil survei Kelompok Konservasi Indonesia Warsi, pertambahan jumlah anggota kelompok Orang Rimba dari tahun ke tahun tidak berubah banyak. Hal itu diungkapkan Rudi Syaf, Manajer Program Komunikasi dan Informasi Warsi. Menurut catatannya, total populasi Suku anak Dalam sekitar 3.500 jiwa. “Tingkat kelahiran tinggi, tapi tingkat kematiannya juga meningkat,” Rudi menyebut penyebabnya.

Dari jumlah itu, sekitar 1.700 jiwa berdiam di sekitar jalan lintas timur Sumatera. Lalu, ada sekitar 450 jiwa berada di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Yang bermukim di sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas kurang-lebih 1.500 jiwa. Se­dangkan suku Batin Sembilan sulit dike­tahui persis berapa populasinya. “Sebab. mereka sudah tersebar dan berbaur dengan suku-suku lain, seperti Jawa dan Batak,” kata lelaki berusia 41 tahun itu.




Tiada ulasan:

Catat Ulasan